Paulo Freire adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi dia, sistem pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena pendidikan yang demikian hanya menguntungkan penguasa maka harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru.
Sebagai jalan keluar atas kritikan tajam itu maka Freire menawarkan suatu sistem pendidikan alternatif yang menurutnya relevan bagi masyarakat miskin dan tersisih. Kritikan dan pendidikan altenatif yang ditawarkan Freire itu menarik untuk dipakai menganalisis permasalahan pendidikan di Indonesia. Walaupun harus diakui bahwa konteks yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran yang kontroversial mengenai pendidikan itu berbeda dengan konteks Indonesia. Namun di balik kesadaran itu, ada keyakinan bahwa filsafat pendidikan yang ada di belakang pemikiran Freire dan juga metodologi pendidikan yang ditawarkan akan bermanfaat dalam “membedah” permasalahan pendidikan di Indonesia.
Pandangan Paulo Freire Tentang Pendidikan. Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan tercermin dalam kritikannya yang tajam terhadap sistem pendidikan dan dalam pendidikan alternatif yang iatawarkan. Baik kritikan maupun tawaran konstruktif Freire keduanya lahir dari suatu pergumulan dalam konteks nyata yang ia hadapi dan sekaligus merupakan refleksi filsafat pendidikannya yang berporos pada pemahaman tentang manusia.
a. Konteks Yang Melatarbelakangi Pemikiran Paulo Freire.
Hidup Freire merupakan suatu rangkaian perjuangan dalam konteksnya. Ia lahir tanggal 19 September 1921 di Recife, Timur Laut Brasilia1. Masa kanak-kanaknya dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 19292. Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar Hukum, Filsafat, dan Psikologi. Sementara kuliah, ia bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di sekolah menengah3. Ia meraih gelar doktor pada tahun 1959 lalu diangkat menjadi profesor. Dalam kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari pendidikan “gaya bank”.
Sistem pendidikan hadap masalah yang penekanan utamanya pada penyadaran nara didik menimbulkan kekuatiran di kalangan para penguasa. Karena itu, ia dipenjarakan pada tahun 19644 dan kemudian diasingkan ke Chile. Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari aka budayanya yang menimbulkan ketegangan5,tidak membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”, tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh dunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA pada tahun 1969-1970. Ia pernah menjadi konsultan bidang pendidikan WCC.
Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan tidak “berpendidikan”6. Masyarakat feodal (hirarkis) adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”.
Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, karena itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu. Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”.
Kesadaran refleksi kritis dalam budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari.
Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Itulah dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi untuk menguasai realitas hidup telah menjadi kebisuan.
Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu. Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apaapa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai.
Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya nara didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik. Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul. Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”.
Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadapmasalah” sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu.
b. Kritikan Paulo Freire Terhadap Pendidikan “Gaya Bank”.
Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brasilia pada masa Freire, anak didik tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam “wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia.
Jadi, murid/nara didik hanya menghafal seluruh yang diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti. Nara didik adalah obyek dan bukan subyek. Pendidikan yang demikian itulah yang disebut oleh Freire sebagai pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada nara didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan.
Nara didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya nara didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia. Pendidikan “gaya bank” itu ditolak dengan tegas oleh Paulo Freire.
Penolakannya itu lahir dari pemahamannya tentang manusia. Ia menolak pandangan yang melihat manusia sebagai mahluk pasif yang tidak perlu membuat pilihan-pilihan atas tanggung jawab pribadi mengenai pendidikannya sendiri. Bagi Freire manusia adalah mahluk yang berelasi dengan Tuhan, sesama dan alam.
Dalam relasi dengan alam, manusia tidak hanya berada di dunia tetapi juga bersama dengan dunia. Kesadara akan kebersamaan dengan dunia menyebabkan manusia berhubungan secara kritis dengan dunia. Manusia tidak hanya bereaksi secara refleks seperti binatang, tetapi memilih, menguji, mengkaji dan mengujinya lagi sebelum melakukan tindakan. Tuhan memberikan kemampuan bagi manusia untuk memilih secara reflektif dan bebas.
Dalam relasi seperti itu, manusia berkembang menjadi suatupribadi yang lahir dari dirinya sendiri. Bertolak dari pemahaman yang demikian itu, maka ia menawarkan sistem pendidikan alternatif sebagai pengganti pendidikan “gaya bank” yang ditolaknya. Sistem pendidikan alternatif yang ditawarkan Freire disebut pendidikan “hadap-masalah”.
c. Pendidikan “Hadap-Masalah”: Suatu Pendidikan Alternatif.
Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.
Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri nara didik.
Freire membagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu:
1) Kesadaran intransitif dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas
2) Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis. Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.
3) Kesadaran Naif. Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.
4) Kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalahmasalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat. Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari kesadaran nara didik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di atasnya.
Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi gurumurid (perbedaan guru sebagai yang menjadi sumber segala pengetahuan dengan murid yang menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Nara didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan nara didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman aktif dalam dialog tersebut.
Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket tetapi sejumlah permasalahan. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh nara didik dalam konteksnya sehari-hari, misalnya dalam pemberantasan buta huruf. Pertamatama peserta didik dan guru secara bersama-sama menemukan dan menyerap tema-tema kunci yang menjadi situasi batas (permasalahan) nara didik.
Tema-tema kunci tersebut kemudian didiskusikan dengan memperhatikan berbagai kaitan dan dampaknya. Dengan proses demikian nara didik mendalami situasinya dan mengucapkannya dalam bahasanya sendiri. Inilah yang disebut oleh Freire menamai dunia dengan bahasa sendiri. Kata-kata sebagai hasil penamaan sendiri itu kemudian dieja dan ditulis. Proses demikian semakin diperbanyak sehingga nara didik dapat merangkai kata-kata dari hasil penamaannya sendiri.
d. Relevansi Pemikiran Freire dalam Konteks Indonesia.
Allen J.Moore mengatakan bahwa konsep Freire yang dirumuskan dalam konteks Amerika Latin tidak bisa diterapkan begitu saja dalam konteks yang berbeda sebab situasinya dan permasalahannya tidak sama. Peringatan Moore ini adalah satu kendali supaya kita tidak bertindak naif dalam menganalisis suatu permasalahan dalam konteks yang khas. Hal itu sekaligus menjadi peringatan supaya kritikan Freire dapat dipakai secara kritis dalam menganalisis permasalahan pendidikan di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia.
Memang harus diakui bahwa konteks permasalahan Amerika Latin, khususnya Brasilia tidak sama persis dengan permasalahan dalam masyarakat Indonesia, tetapi dalam banyak hal kita menemukan persamaan. Masyarakat Indonesia yang terdiri atas suku-suku adalah masyarakat hierarkis yang nampak dalam strata sosial yang mempunyai sebutan khas di berbagai daerah. Sebagai contoh adalah stratifikasi sosial dalam masyarakat Toraja dan dalam masyarakat Bali. Dalam masyarakat Toraja strata sosial disebut “Tana’”. Tana’ Bulawan (strata tertinggi) adalah pemilik budak (tana’ koa-koa) dan sekaligus pemilik harta dan kekuasaan yang “mutlak”.
Walaupun strata sosial ini sudah tidak terlalu nampak tetapi justru telah lahir suatu strata sosial baru yang prakteknya hampir sama dengan feodalisme tradisional. Pemegang kendali dalam feodalisme modern adalah kelompok pedagang/pengusaha yang menguasai ekonomi lebih dari setengah kekayaan yang ada. Kelompok tersebut mengakumulasikan kekayaan kurang lebih 80% kekayaan Indonesia padahal jumlah mereka tidak lebih dari 20% dari jumlah penduduk. Kedua kelompok “penindas” tersebut semakin memperkokoh kekuasaannya sebab secara praktik hanya mereka yang mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yang sangat mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu. Generasi itulah yang kemudian menjadi pewaris “tahta penindasan”. Kalau ada dari kelompok rakyat kecil yang mampu mengecap pendidikan tinggi, ia akan berubah menjadi pemegang kendali feodalisme baru itu baik dalam rangka balas dendam maupun dalam “penindasan” terhadap sesamanya kaum “tertindas”. Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang berupaya membebaskan kaum tertindas untuk menjadi penindas baru.
Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus membebaskan para penindas dari kepenindasannya. Dalam proses belajar mengajar, pemerintah Republik Indonesia telah mengupayakan untuk menerapkan pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA), tetapi hanya metodenya sajalah yang CBSA. Sementara materi yang disampaikan masih merupakan barang asing yang tidak lahir dari dalam konteks dimana manusia itu ada sehingga pada akhirnya siswa kembali menjadi “bank” penyimpanan sejumlah pengetahuan. Memang siswa aktif belajar dan mungkin berdiskusi dalam kelas tetapi yang didiskusikan dan dipelajari dalam kelas adalah sejumlah dalil dan rumus yang tidak punya hubungan dengan kehidupannya. Lagi pula relasi guru-siswa adalah pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yang belum tahu dan harus diberitahu sedangkan guru adalah yang sudah tahu dan akan memberitahukan. Pelaksanaan Pendidikan agama dalam gereja juga tidak jauh berbeda dengan pendidikan dalam sekolah-sekolah umum. Bahkan mungkin lebih memprihatinkan sebab justru dalam gereja pendekatan “indoktrinasi” lebih mendapat tekanan yang dominan.
Pengajaran di Sekolah Minggu dan Katekisasi dan juga dalam kebaktian umum, peserta didik atau kebaktian diisi dengan sejumlah doktrin yang asing. Doktrin-doktrin religius yang dirumuskan dalam konteks yang berbeda dengan konteks Indonesia masih menjadi senjata andalan untuk “membungkam” kreativitas iman anggota Jemaat. Alkitab sebagai sumber pengetahuan iman belum diupayakan untuk dibaca dan dipahami dalam konteks masyarakat Indonesia. Bukankah itu semua yang disebut oleh Paulo Freire dengan pendidikan “gaya bank”?
PENDIDIKAN TANPA DISKRIMINASI
Moacir Gadotti dan Carlos Alberto Torres (1997) dalam stetment yang diberi judul “Educators can be with Freire or against Freire, but not without Freir,.” Pernah menyatakan bahwa untuk menunjukkan signifikansi pemikiran Paulo Freire dalam diskursus pendidikan di dunia. Dan untuk memahami pemikiran Freire, di Indonesia saja tidak kurang ada sembilan judul buah karyanya yang telah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indoensia. Freire, sebagai seorang humanis-revolusioner, sudah tidak dapat diragukan lagi kecintaannya pada dunia pendidikan yang memberikan penekanan pada sisi kemanusiaan. Bahkan, dalam salah satu bukunya Freire memiliki kepercayaan bahwa untuk memperjuangkan dan menegakan sebuah dunia baru yang “menos feio, menos malvado, menos desumano” (less ugly, less cruel, less inhumane), harus dimulai dari pendidikan.
Sedangkan mengapa Freire punya banyak pengikut? Penulis, akan dapat melihatnya dari sebuah kesaksian seorang Martin Carnoy (1998) yang menyatakan bahwa Freire mempunyai arah politik pendidikan yang jelas. Arah politik pendidikan yang jelas ini pula, yang membedakannya dengan Ivan Illich. Dimana, arah politik pendidikan dari Freire lebih berporos pada keberpihakan kepada kaum tertindas (the oppressed). Kaum tertindas ini sendir masih menurut Freire bisa bermacam-macam, tertindas oleh rezim otoriter, tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, jender, ras, dan sebagainya. Sehingga, berbicara tentang ketertindasan ini Freire membagi jenis ketertindasan ini ke dalam dua ciri utama, yaitu :
Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan lingkungannya. Mereka tidak bisa menjadi subjek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain.
Kedua, mereka mengalami self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa. Padahal, saat mereka telah berinteraksi dengan dunia dan manusia lain, sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bejana kosong atau empty vessel, tetapi telah menjadi makhluk yang mengetahui.
A. Bagaimana mengemansipasi mereka yang tertindas?.
Untuk menjawab pertanyaan itu, Freire berangkat dari konsep tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete and unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subjek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya. Menjadi subjek atau makhluk yang lebih manusiawi, dalam pandangan Freire, adalah panggilan ontologis manusia. Sebaliknya, dehumanisasi adalah distorsi atas panggilan ontologis manusia.
Filsafat pendidikan Freire bertumpu pada keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya. Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subjek. Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda : meningkatkan kesadaran kritis peserta didik sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadi penindasan itu berlangsung. Sebab, kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan. Ia punya potensi untuk berkembang dan mempengaruhi lingkungan, tetapi ia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial atau miliu tempat ia berkembang. Untuk itulah emansipasi dan transendensi tingkat kesadaran itu harus melibatkan dua gerakan ganda ini sekaligus. Idealitas itu bisa dicapai jika proses pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen dan peserta didik yang bersifat subjek-subjek, bukan subjek-objek. Tetapi, konsep ini tidak berarti hanya menjadikan guru sebagai fasilitator an-sich, karena ia harus terlibat bersama-sama peserta didik dalam mengkritisi dan memproduksi ilmu pengetahuan.
Guru, dalam pandangan Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberikan instruksi kepada anak didik, tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers). Mereka harus sadar, pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo.
Jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. Untuk, dalam pandangan Freire, ”reading a word cannot be separated from reading the world and speaking a word must be related to transforming reality.” Dengan demikian, ia harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan di kelas harus dikaitkan dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada dialektika antara teks dan konteks, teks dan realitas.
B. Pada Siapa Pendidikan berpihak ?
Pelajaran, yang bisa ditarik dari Freire untuk konteks pendidikan kita “kekinian”, paling tidak adalah betapa besarnya komitmennya terhadap kaum marjinal. Lewat perspektif Freirean kita bisa bertanya: kepada siapa sesungguhnya sistem pendidikan kita saat ini berpihak?. Apakah negara sudah sungguh-sungguh mengamalkan salah satu pasal UUD 1945 (hasil amandemen ke-4) yang berbunyi ”anak-anaktelatar dipelihara oleh negara”?. Mengapa ada kesenjangan yang luar biasa tinggi dalam pendidikan kita, di satu sisi ada sekolah yang luar biasa mahal, dengan fasilitas yang lengkap, dan hanya anak orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah itu, namun disisi yang lain ada sekolah yang dihuni kaum marjinal saja”?. Bukankah dengan membiarkan kesenjangan itu terus berlangsung sama dengan membenarkan tesisnya Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam “Schooling in Capilaist America (1976),” yang menyatakan bahwa sekolah hanya berfungsi sebagai alat untuk melayani kepentingan masyarakat dominan dalam rangka mempertahankan dan mereproduksi status quo”?.
Ada dua kelompok kaum marjinal yang tereksklusi dan jarang mendapatkan perhatian serius oleh publik dalam hal pendidikan: Pertama, penyandang cacat. Kelompok ini termasuk mereka yang kurang beruntung mendapatkan pendidikan yang memadai. Mereka mengalami apa yang disebut segregasi pendidikan. Pendidikan mereka dibedakan dengan kaum ”normal.” Segregasi pendidikan ini telah berlangsung sekian lama dengan asumsi, mereka yang cacat dipandang tidak akan mampu bersaing dengan kaum “normal,” karena ada bagian syaraf tertentu yang tidak bisa bekerja maksimal.
Jika asumsi ini benar, bukan-kah tugas sekolah untuk memaksimalkan mereka yang tidak mampu.?. Jika ada yang tidak mampu, mengapa solusinya dengan cara mengekskluian, bukan dengan pemberdayaan.?. Jika asumsi itu salah, bukan-kah itu sama saja menutup peluang mereka untuk mendapat pendidikan yang sama seperti yang diperoleh orang normal.?. Tidak-kah ini berarti diskriminasi?.
Dampak lain dari segregasi pendidikan adalah para penyandang cacat menjadi terasing dari lingkungan sosial, mereka tereksklusi dari sistem sosial orang-orang normal. Jadi-lah mereka sebagai warga kelas dua. Anak-anak normal juga tidak mendapat pendidikan pluralitas yang memadai. Bagaimana mereka bisa berempati dan bersimpati kepada penyandang cacat, jika mereka tidak pernah bergaul dengan kelompok ini karena hanya bergaul dengan sejenisnya disekolah. Kedua, anak-anak jalanan. Secara kuanlitas kelompok ini kian banyak, terutama di kota besar seperti Bandung. Mereka adalah kaum miskin kota dan sudah terbiasa dengan kekerasan, seks bebas, dan mabuk-mabukan. Dimana peran negara dalam memberikan pendidikan yang layak buat mereka.?. Meski negara bukan satu-satunya aktor yang bertanggungjawab, tetapi bukankah negara telah diamanati oleh konstitusinya?.
Jika kita memakai perspektif Paulo Freire, kunci utama agar kedua kelompok itu bisa menjadi subjek yang otonom dan bisa mengkritisi realitas eksistensialnya adalah dengan cara mengembangkan kesadaran kritisnya dan mentransformasikan struktur sosial yang tidak adil. Kaum marjinal harus diyakinkan bahwa mereka berhgak dan mampu menentukan nasibnya sendiri, berhak mendapatkan keadilan, berhak melawan segala bentuk diskriminasi. Penulis sendiri, pesimistis jika kedua kelompok itu telah terakomodir secara maksimal dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang “Sistem pendidikan nasional”. Karena, penulis melihat tidak ada satu pasal pun yang memberikan keutamaan pada kedua kelompok ini, bahkan jarang sekali disinggung-singgung oleh pemerintah, insan pendidikan dan masyarakat penggunajasa pendidikan. Oleh sebab, itu sudah saatnya kita mulai memperhatikan kedua kelompok tersebut secara sungguh-sungguh. Pendidikan kita sudah seharusnya berpihak kepada mereka, bukan mengabdi kepada kepentingan kekuasaan, industri, dan masyarakat dominan belaka.
BEBASKAN MASYARAKAT DARI BELENGGU SEKOLAH
Menurut Ivan Illich, karena banyak murid, khususnya yang miskin, secara intuitif tahu, bila sekolah membuat mereka tidak mampu membedakan proses dari subsatansi. Proses dan substansi dicampuradukkan. Akibatnya murid menyamakan begitusaja pengajaran dan belajar, naik kelas dengan pendidikan, ijazah dengan kemampuan, dan kefasihan berceloteh dengan kemampuan mengungkapkan sesuatu yang baru. Anak dibiasakan menerima pelayanan, bukanya nilai-nilai. Sekolah dari namanya cenderung menyita seluruh waktu dan tenaga guru maupun murid. Inilah yang mengkondisi guru menjadi pengawas, pengkotbah, dan seakan-akan ahli dalam terapi.
Ritualisasi kemajuan membuahkan lulusan universitas didik untuk menjalani tugas pilihan melayani orang-orang kaya di dunia. Sekolah juga yang menciptakan “mitos Konsumsi Tanpa Henti” [Myth of Unending Consumption]. Mitos modern ini didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa proses tersebut akan mereproduksi murid pada pemikiran yang salah.
Misalnya :
- Mitos pengukuran nilai, maka akan ditanamkan disekolah bahwa nilai selalu dikuantifikasikan. Sekolah memasukkan orang muda ke suatu dunia di mana segala sesuatu dapat diukur. Termasuk imajinasi mereka, dan juga manusia itu sendiri.
- Mitos Paket Nilai, sekolah menjual kurikulum – sebundel materi yang dibuat menurut proses yang sama dan mempunyai struktur yang sama sebagaimana barang dagangan lainnya
- Mitos Kamajuan Abadi, anehnya ketika prestasi belajar menurun, biaya pendidikan per kepala justru semakin meningkat. Siswa digenjot, ketingkat konsumsi kurikulum kompetitif, tentunya berkonsekuensi pada penggeluaran yang lebih tinggi. Maka kemajuan abadi hanya pada segmen naiknya pembiayaan
- Mitos Ritual, sekolah berfungsi sebagai pencipta dan penunjang yang efektif atas mitos sosial karena strukturnya sebagai sebuah permainan ritual untuk kenaikkan berjenjang. Masuk ke dalam ritus penuh pertaruhan dianggap lebih penting dibanding dengan apa atau bagaimana sesuatu diajarkan.
Inillah sebagian yang diianggap belenggu oleh Ivan Illich]

Tidak ada komentar:
Posting Komentar