Rabu, 19 November 2008

SENTRALISTIK DAN DISENTRALISTIK PENDIDIKAN

I. Paradigma pembangunan pendidikan

A. Pendahuluan

Kebiasaan pemerintah kita dalam melakukan justifikasi kepentingan program-progran di bidang pendidikan adalah berdasar pada pemikiran jangka menengah yang mengaitkannya dengan legalitas kemapanan yang bersifat normative. Akibatnya tujuan pendidikan selalu dirumuskan dalam "bahasa tamsil" yang sangat utopis dan kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan “prioritas” yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu.

Problema-problema pendidikan kita semakin kompleks dan semakin sarat dengan tantangan. Kebijakan dan program-program pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, nampak tidak memberi jawaban solutif terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan yang berkembang. Kebijakan dan perubahan-perubahan pendidikan kita, kurang memliki “prioritas” yang ingin dicapai. Katakan saja, persoalan dana pendidikan, persoalan manajemen pendidikan dengan konsep manajemen berbasisi sekolah [MBS] dan akreditasi, kebijakan perubahan kurikulum dari KBK menjadi KTSP, persoalan kompetensi dan sertifikasi guru dan dosen, ujian nasional yang menuai protes dari siswa, yang berdampak penyelesaian sekolah di Paket C. Hal yang sangat menyedihkan dalam kebijakan pendidikan di negara yang kita cintai ini. Indikator ini menunjukan kurang terarahnya kebijakan-kebijakan pendidikan. Beberapa “pakar” dan “pemerhati” pendidikan, mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia selalu dirumuskan dalam "bahasa tamsil" yang sangat “utopis” dan kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan prioritas persoalan pendidikan yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu.

Dari persoalan-persoalan di atas, paling tidak ada dua hal pokok yang menyebabkan program-program pendidikan dirasakan “tumpul” dan “tidak membumi” untuk menjawab persoalan pendidikan di Indonesia : Pertama, tidak adanya "national assessment" untuk menggambarkan kondisi dan permasalahan pendidikan yang didasarkan pada suatu ukuran kemajuan tertentu [benchmark] secara terbuka [accountable], sehingga publik dengan mudah mengikuti dan “mengevalusi” kemajuan pendidikan yang ada. Kedua, program-program pendidikan yang dilaksanakan tidak diturunkan dari tujuan-tujuan yang mengacu pada hasil-hasil yang memiliki kriteria pencapaian yang jelas dan dapat terukur realisasinya

Akibatnya, upaya-upaya perbaikan pendidikan yang dilaksanakan selama ini, seakan-akan berada di antara “mitos” dan “realitas”. Di satu sisi, perbaikan pendidikan dinyatakan sebagai sub-sistem pembangunan nasional [sebagai entitas sistem secara keseluruhan], tetapi di sisi lain program-programnya tidak memiliki konsep yang cukup jelas untuk menjawab paradigma pembangunan yang berorientasi pada pola dan permasalahan kehidupan global yang menuntut kontribusi pendidikan yang dinamis dan bervariasi. Untuk itu, arah kebijakan pendidikan kedepan, seharusnya ditujukan untuk merubah “mitos” menjadi “realitas” perubahan pendidikan di Indonesia.

Gambaran di atas, menunjukkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia memang begitu dilematis. Artinya, di satu sisi, tuntutan kualitas pendidikan perlu dikatrol setinggi-tingginya untuk mengejar ketertinggalan begitu jauh dengan negara-negara lain. Sementara disi lain, dana operasional yang tersedia untuk bidang pendidikan begitu terbatas. Perlu diakui bahwa pemerintah, sebenarnya telah mengalokasi sejumlah jenis bantuan untuk dana operasional pendidikan [sekolah]. Tetapi bantuan tersebut hanya cukup untuk menutup biaya minimal bagi kegiatan-kegiatan pendidikan. Sementara kegiatan yang sifatnya penunjang atau pengembangan, dirasakan belum optimal dan hal ini berakibat pada upaya peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.

B. Kebijakan Pendidikan di Indonesia

Proses pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab, jika manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi pada sistem peradaban dan budaya manusia. Dengan ilustrasi ini, maka baik pemerintah maupun masyarakat berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia. “Sistem pendidikan yang dibangun harus disesuaikan dengan tuntutan zamannya, agar pendidikan dapat menghasilkan outcome yang relevan dengan tuntutan zaman. Indonesia, telah memiliki sebuah sistem pendidikan dan telah dikokohkan dengan UU No. 20 tahun 2003. Pembangunan pendidikan di Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan empat strategi dasar, yakni: Partama, pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan; kedua, relevansi pendidikan; ketiga, peningkatan kualiutas pendidikan; dan keempat, efesiensi pendidikan. Sacara umum strategi itu dapat dibagi menjadi dua dimensi yakni peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.

Pembangunan peningkatan mutu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas pendidikan. Sedangkan kebijkan pemerataan pendidikan diharapkan dapat memberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan bagi semua usia sekolah. Dari sini, pendidikan dipandang sebagai katalisator yang dapat menunjang faktor-faktor lain. Artinya, pendidikan sebagai upaya pengembangan sumberdaya manusia [SDM] menjadi semakin penting dalam pembangunan suatu bangsa.

Untuk menjamin kesempatan memperoleh pendidikan yang merata disemua kelompok strata dan wilayah tanah air sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangannya perlu strategi dan kebijakan pendidikan, yaitu : [a] menyelenggarakan pendidikan yang relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dalam menghadapi tantangan global, [b] menyelenggarakan pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan [accountasle] kepada masyarakat sebagai pemilik sumberdaya dan dana serta pengguna hasil pendidikan, [c] menyelenggarakan proses pendidikan yang demokratis secara profesional sehingga tidak mengorbankan mutu pendidikan, [d] meningkatkan efisiensi internal dan eksternal pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, [e] memberi peluang yang luas dan meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga terjadi diversifikasi program pendidikan sesuai dengan sifat multikultural bangsa Indonesia, [f] secara bertahap mengurangi peran pemerintah menuju ke peran fasilitator dalam implementasi sistem pendidikan, [g] Merampingkan birokrasi pendidikan sehingga lebih lentur [fleksibel] untuk melakukan penyesuaian terhadap dinamika perkembangan masyarakat dalam lingkungan global.

Empat strategi dasar kebijakan pendidikan yang dikemukakan di atas cukup ideal. Tetapi Muchtar Bukhori, seorang pakar pendidikan Indonesia, menilai bahwa kebijakan pendidikan kita tak pernah jelas. Pendidikan kita hanya melanjutkan pendidikan yang elite dengan kurikulum yang elitis yang hanya dapat ditangkap oleh 30 % anak didik”, sedangkan 70% lainnya tidak bisa mengikuti [Kompas, 4 September 2004]. Dengan demikian, tuntutan peningkatan kualitas pendidikan, relevansi pendidikan, efesiensi pendidikan, dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, belum terjawab dalam kebijakan pendidikan kita. Kondisi ini semakin mempersulit mewujudkan pendidikan yang egalitarian dan SDM yang semakin merata di berbagai daerah.

Proses menuju perubahan sistem pendidikan nasional banyak menuai kendala serius. Apalagi ketika membicarakan konteks pendidikan nasional sebagai bagian dari pergumulan ideologi dan politik penguasa. Problem-problem yang dihadapi seringkali berkaitan dengan kebijakan-kebijakan [policies] yang sangat strategis. Maka, dalam konteks kebijakan pendidikan nasional, menurut Suyanto, banyak pakar dan praktisi pendidikan mengkritisi pemerintah, dianggap tidak memiliki komitmen yang kuat untuk membenahi sistem pendidikan nasional”. Artinya, kebijakan-kebijakan pendidikan kita, kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan “prioritas” yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Hal ini, “terutama berkaitan dengan anggaran pendidikan nasional yang semestinya sebesar minimal 20%, daimbil dari APBN dan APBD [pasal 31 ayat 4 UUD Amandemen keempat]. Tetapi, sampai sekarang kebijakan strategi belum dapat diwujudkan sepenuhnya, pendidikan nasional masih menyisihkan kegetiran-kegetiran bagi rakyat kecil yang tidak mampu mengecap pendidikan di sekolah”.

Pasca Reformasi tahun 1998, memang ada perubahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional. Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan sistem pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau yang lebih dikenal dengan otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan kita pun menyesuaikan dengan model otonomi. Kebijakan otonomi di bidang pendidikan [otonomi pendidikan] kemudian banyak membawa harapan akan perbaikan sistem pendidikan kita. Kebijakan tersebut masih sangat baru, maka sudah barang tertentu banyak kendala yang masih belum terselesaikan.

Otonomi yang didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999, yaitu memutuskan suatu keputusan dan atau kebijakan secara mandiri. Otonomi sangat erat kaitanya dengan desentralisasi. Dengan dasar ini, maka otonomi yang ideal dapat tumbuh dalam suasana bebas, demokratis, rasional dan sudah barang tentu dalam kalangan insan-insan yang “berkualitas”. Oleh karena itu, rekonstruksi dan reformasi dalam Sistem Pendidikan Nasional dan Regional, yang tertuang dalam GBHN 1999, juga telah dirumuskan misi pendidikan nasional kita, yaitu mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin, bertanggung jawab, berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia.

Untuk mewujudkan misi tersebut mesti diterapkan arah kebijakan sebagai berikut, yaitu : [1] perluasan dan pemerataan pendidikan, [2] meningkatkan kemampuan akademik dan profesionalitas serta kesejahteraan tenaga kependidikan, [3] melakukan pembaharuan dalam sistem pendidikan nasional termasuk dalam bidang kurikulum, [4] memberdayakan lembaga pendidikan formal dan PLS secara luas, [5] dalam realisasi pembaharuan pendidikan nasional mesti berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen, [6] meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan efisien terutama dalam pengembangan iptek, seni dan budaya sehingga membangkitkan semangat yang pro-aktif, kreatif, dan selalu reaktif dalam seluruh komponen bangsa.

Babarapa kalangan pakar dan praktisi pendidikan, mencermati kebijakan otonomi pendidikan sering dipahami sebagai indikasi kearah “liberalisasi” atau lebih parah lagi dikatakan sebagai indikasi kearah “komersialisasi pendidikan”. Hal ini, menurut Suyanto, semakin dikuatkan dengan terbentuknya Badan Hukum Pendidikan [BHP] yang oleh beberapa pengamat dianggap sebagai pengejawantahan dari sistem yang mengarah pada “liberalisasi pendidikan”.

Persoalan sekarang, apakah sistem pendidikan yang ada saat ini telah efektif untuk mendidik bangsa Indonesia menjadi bangsa yang modern, memiliki kemampuan daya saing yang tinggi di tengah-tengah bangsa lain? Jawabannya tentu belum. Menurut Suyanto, berbicara kemampuan, kita sebagai bangsa nampaknya belum sepenuhnya siap benar menghadapi tantangan persaingan. Sementara, disatu sisi, “bidang pendidikan kita menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia [SDM] Indonesia. Tetapi disisi lain, sistem pendidikan kita masih melahirkan mismatch terhadap tuntutan dunia kerja, baik secara nasional maupun regional [Suyanto, 2006:21].

Berbagai problem fundamental yang dihadapi pendidikan nasional saat ini, yang tercermin dalam “realitas” pendidikan yang kita jalan. Seperti persoalan anggaran pendidikan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan persoalan output pendidikan kita yang masih sangat rendah kualitasnya. Problem-problem pendidikan yang bersifat metodik dan strategik yang membuahkan output yang sangat memprihatinkan. Output, pendidikan kita memiliki mental yang selalu tergantung kepada orang lain. Output pendidikan kita tidak memiliki mental yang bersifat mandiri, karena memang tidak kritis dan kreatif. Akhirnya, output yang pernah mengenyam pendidikan, malah menjadi “pengangguran terselubung”. Ini artinya, setiap tahunnya, pendidikan nasional kita memproduksi pengangguran terselubung. Mereka itu, adalah korban dari ketidakberesan sistem pendidikan kita yang masing sedang merangka berbenah. Mungkin saja, kita sebagai insan yang berpendidikan, tentu saja terus atau banyakan berharap akan datangnya perubahan “fundamental” terhadap sistem pendidikan [Baca: Suyanto, 2006:viii] di Indonesia.

C. Perubahan Paradigma Pendidikan Pasca Reformasi

Pada era reformasi, masyarakat Indonesia menginginkan perubahan dalam semua aspek kehidupan bangsa. Berbagai terobosan telah dilakukan dalam penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan, dengan kata lain diperlukan paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan perubahan masyarakat tersebut. Katakan saja, pembaharuan pada sektor pendidikan yang memiliki peran strategis dan fungsional [Hujair AH. Sanaky, 2003:3], juga memerlukan paradigma baru yang harus menekankan pada perubahan cara berpikir dalam pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan.

Pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional tidak dapat berperan sebagai penggerak dan “loko” pembangunan, bahkan Gass [1984] lewat tulisannya berjudul education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: cultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terddidik. Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan nasional yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat “tambal sulam” [Erratic]. Pembaharuan pendidikan nasional yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan [Zamroni, 2000:5-6].

Paradigma tersebut harus berimplikasi pada perubahan perspektif dalam pembangunan pendidikan, mulai dari perspektif yang menganggap pendidikan sebagai sector pelayanan umum ke perspektif pendidikan sebagai suatu investasi produk yang mampu mendorong pertumbuhan masyarakat di berbagai bidang kehidupan. Sebab pendidikan bukan bidang yang terlepas dari “kehidupan” lainnya [Baca: Ace Suryadi, From:http://www.kompas.com]. Mungkin saja, kita perlu menyimak kembali kata Prof.Proopert Lodge, yang dikutip Suyanto, mengatakan bahwa life is education, and education is life. Dari pernyataan Lodge itu mengisyaratkan bahwa, antara pendidikan dengan kehidupan hampir-hampir tidak dapat dibedakan sama sekali [Suyanto, 2006: ix]. Dari pandangan ini, kita tidak heran, jika sering disinyalir bahwa pendidikan sebagai faktor yang dipengaruhi oleh berbagai permasalahan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan. Maka pendidikan sering menerima akibat buruk dari berbagai perubahan yang terjadi.

Melalui paradigma baru tersebut, paling tidak pendidikan harus mempu mengantisipasi berbagai tantangan dan permasalahan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan. Bahkan, kalau memungkinkan, pendidikan dapat mengubahnya menjadi faktor yang dapat menggerakkan atau mengarahkan perubahan dalam lingkungan tersebut Sebab, pendidikan dan kehidupan telah menyatu dalam sebuah kerangka filosofis, bahwa proses pendidikan tidak lain adalah proses memanusiakan manusia. Dengan dasar ini, maka pendidikan dipandang sebagai “katalisator” dan “loko” yang dapat menyebabkan faktor-faktor lainnya berkembang. Hal ini memberikan aksentuasi betapa pembangunan pendidikan sebagai upaya pengembangan sumberdaya manusia [SDM] menjadi semakin penting dalam pembangunan suatu bangsa.

Dari pemikiran di atas, maka pengambil kebijakan pendidikan perlu memperhatikan berbagai persoalan yang sedang akan dihadapi bangsa ini. Oleh karena itu, perlu ditempuh berbagai langkah baik dalam bidang manajemen, perencanaan, sampai pada praksis pendidikan ditingkat mikro. Langkah-langkah untuk melakukan rekonstruksi pendidikan dalam rangka membangun paradigma baru sistem pendidikan nasional pasca reformasi, meliputi :

Pertama, pendidikan nasional hendaknya memiliki visi yang berorientasi pada demokratisasi bangsa, sehingga memungkinkan terjadinya proses pemberdayaan seluruh komponen masyarakat secara demokratis.

Kedua, pendidikan nasional hendaknya memiliki misi agar tercipta partisipasi masyarakat secara menyeluruh. Dengan demikian, secara mayoritas seluruh komponen bangsa ada dalam masyarakat menjadi terdidik. Pendidikan, tidak hanya terfokus untuk penyiapan tenaga kerja, tapi lebih jauh dari itu harus memperkuat kemampuan dasar “pembelajar” sehingga memungkinkan baginya untuk berkembang lebih jauh sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai warga negara dalam konteks kehidupan global.

Ketiga, substansi pendidikan dasar hendaknya mengacu pada pengembangan potensi dan kreativitas “pembelajar” dalam totalitasnya yang seimbang dan serasi.. Pendidikan menengah dan tinggi hendaknya diarahkan pada membuka kemungkinan pengembangan individu [kepribadian] secara vertical dan horizontal. Pengembangan vertikal mengacu pada struktur keilmuan, sedangkan pengembangan horizontal mengacu pada keterkaitan dan relevansi antar bidang keilmuan.

Keempat, pendidikan dasar dan menengah perlu mengembangkan sistem pembelajaran yang egaliter dan demokratis agar tidak terjadi pengelompokan kelas atas dasar kemampuan akademik. Pengelompokan mengakibatkan eksklusivisme bagi yang siperior dan perasaan terisolasi bagi bagi mereka yang berada pada kelas dua.

Kelima, pendidikan tinggi, jangan hanya berorientasi pada penyiapan tenaga kerja. Pendidikan tinggi, harus mempersiapkan dan memperkuat kemampuan dasar mahasiswa untuk memungkinkan mereka berkembang baik secara individu, anggota masyarakat, maupun sebagai warga negara dalam konteks kehidupan yang global. Pendidikan tinggi, diselenggarakan dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen yang fleksibel dan dinamik, agar memungkinkan perguruan tinggi untuk berkembang sesuai dengan potensi masing-masing serta tuntutan eksternal yang dihadapinya [Suyanto, 2006: 18].

Keenam, kebijakan kurikulum untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, harus memperhatikan tahap perkembangan “pembelajar” dan kesesuaian dengan lingkungan, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, seni, serta sesuai dengan jenjang masing-masing satuan pendidikan, dengan mengembangkan proses pembelajaran kreatif. Jangan menjadikan pendidikan sebagai bentuk model yang dikatakan Paulo Freire, “pendidikan gaya bank” [banking concept of education], arinya pendidik selalu melakukan deposito beberapa macam informasi ke bank “pembelajar” tanpa harus tahu untuk apa informasi itu bagi kehidupan mereka [Paulo Freire, 1995:57]. Akibatnya, “pembelajar” memiliki pengetahuan, tetapi “pembelajar” kering dan tidak memiliki sikap, minat, motivasi, dan kreativitas untuk mengembangkan diri atas dasar pengetahuan yang dimiliki, serta “pembelajar” sendiri tidak memahami dan tidak tahu untuk apa pengetahuan tersebut [Hujair AH. Sanaky, 2003:164]. Kedaan semacam ini, perlu dikoreksi mulai dari tingkat pendidikan di sekolah dasar. Proses pembelajaran yang mementingkan kemampuan analisis dan sistesis, sikap, minat, motivasi, dan kreativitas yang tinggi terhadap pencapaian prestasi di kalangan “pembelajar” perlu segera direkayasa [Suyanto & Djihad Hisyam, 2000: 64], sehingga mampu melahirkan manusia yang memiliki kemampuan kreatif, inovatif, mandiri, dan memiliki kebebasan dalam berpikir[Hujair AH. Sanaky, 2003:164].

Ketujuh, dalam pembelajaran pada tingkat apa saja mesti dapat mengaktualisasi enam unsur kapasitas belajar yaitu: [1] kepercayaan [confidence], [2]) keingintahuan [curioucity], [3] sadar tujuan [intensionality], [4] kendali diri [self control], [5] mampu bekerja sama [work together] dengan pihak mana saja, dan [6] kemampuan bergaul secara harmonis dan saling pengertian [relatedness].

Kedelapan, untuk menjaga relevansi outcome pendidikan, perlu diimplementasikan filsafat rekonstruksionisme dalam berbagai tingkat kebijakan dan praktisi pendidikan. Berorientasi pada filsafat ini, pendidikan akan mampu merekonstruksi berbagai bentuk penyakit sosial, mental dan moral yang ada dalam masyarakat. Maka pendidikan kita, akan mampu menanamkan sikap toleransi etnis, rasial, agama, dan budaya kepada “pembelajar” dalam konteks kehidupan yang plural.

Kesembilan, pendidikan nasional hendaknya mendapatkan proporsi alokasi dana yang cukup memedai [20%-25% dari APBN dan APBD] agar dapat mengembangkan program-program pendidikan yang berorientasi pada peningkatan mutu, relevansi, efesiensi dan pemerataan [Suyanto, 2006: 19-20].

Kesepuluh, realisasi pendidikan dalam konteks lokal, diperlukan badan-badan pembantu dalam dunia pendidikan antara lain “Dewan Sekolah” yang di dalamnya harus ada unsur-unsur Pemerintah Daerah, perwakilan guru-guru dan sudah tentu ada pula di dalamnya tokoh-tokoh masyarakat dan para orang tua peserta didik. “Dewan Sekolah”, berperan untuk memberi masukan yang tidak hanya pada aspek material dan kesejahteraan guru saja, tetapi harus masukan dalam berbagai aspek, termasuk dalam perumusan, pembinaan, dan evaluasi misi, visi dan substansi [kurikulum lokal dll] pendidikan yang relevan dengan kebutuhan daerah masing-masing. Maka, manajemen pendidikan harus dapat mengarahkan pada berbagai kebijakan dalam proses pendidikan antara lain dalam proses pembelejaran sebagai alat mencapai tujuan yaitu mendorong terwujudnya partisipasi, peningkatan kualitas layanan melalui pemberdayaan lembaga pendididkan [sekolah] dan pendidik [guru] dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam konteks sosial budayanya sendiri.

Keseblas, perlu menetapkan model rekrutmen pejabat pendidikan secara professional, sehingga dapat diperoleh the right person in the right place, bukannya : the right person in the wrong place, atau kata Suyanto lebih parah lagi : the wrong person in the wrong place [Suyanto, 2006:20] atau yang lebih suver parah lagi adalah konsep familier, “koncoisme” dan “kronisme” . Dalam konteks ini, kompetensi dan sertifikasi guru dan dosen harus juga dilakukan secara professional pula. Pemerintah harus membentuk suatu badan “independen” profesi guru dan dosen yang anggota-anggotanya terdiri dari tenaga kependikanakan professional, terpercaya, dan bertanggungjawab, yang akan menilai kompetensi dan profesionalisme guru dan dosen. Mungkin saja, pengelola pendidikan di Indonesia sudah memiliki pengalaman dengan Badang Akreditasi Nasional [BAN]. Kinerja badan ini dinilai oleh “pengguna pendidikan” belum “optimal” atau belum “substansional” dalam menilai kualitas suatu perguruan tinggi. Sebab, badan ini hanya lebih banyak mengevaluasi aspek fisik dan administrasi semata yang disiapkan oleh suatu perguruan tinggi, kemudian mengambil kesimpulan penilaian dengan memberikan peredikat A-B dan C atau tidak terakreditasi. Maka tidak mengherankan, jika ada suatu perguruan tinggi yang dapat mempersiapakn dengan mempoles atau merekayasa aspek “fisik” dan “administrasi” secara baik, dengan “kualitas dosen” dan “mahasiswa” yang kurang memadai, tetap mendapatkan predikat penilai A atau B atau C, sangat ironis sekali. Contoh lain, yaitu beberapa Sekolah Dasar [SD] di Indonesia mulai diuji coba untuk diakreditasi. Terlihat bebarapa sekolah sibuk mempersiapkan aspek “adimisntrasi” [dengan fom yang rumit dan sulit] dan “fisik”, bahkan samapai pada “taman sekolah” pun direkayasa untuk memenuhi tuntutan standar penilai. Kadang-kadang “taman sekolah” tersebut tidak sesuai, bahkan kurang serasi dengan tata lingkungan sekolah. Pertanyaan mendasar, sebenarnya aspek apa yang harus dinilai? Apakah program, proses, dan kualitas hasil prodak [output] yang dinilai, sedangkan administrasi dan fisik sebagai pelengkap untuk mendukung proses pendidikan, atau memang aspek adminstrasi dan fisik saja yang dinilai untuk menentukan kualitas suatu lembaga pendidikan. Pernyataan terakhir ini, didasarkan pada pengalaman penilaian yang dilakukan selama ini dengan hanya “menilihat” dan “mencermati” aspek admnistrasi dan fisik yang disediakan suatu lembaga pendidikan. Dengan dasar pemikiran di atas, maka badan “independen” yang akan menilai kompenetsi dan profesionalisme guru dan dosen, harus bekerja secara professional, jujur dan bertanggungjawab, dengan menilai aspek yang sangat “substansional” dari profesi guru dan dosen, yaitu kompetensi professional, keilmuan, personal, dan sosial. Setelah kompetensi tersebut dinilai, kemudian diberikan kelayakan dengan memberikan sertifikasi sebagai guru atau dosen yang professional.

Akhir dari tulis ini, paparan yang dikemukakn di atas, dapat dikatakan bahwa pendidikan nasional kita perlu adanya filosofi, visi, dan misi pendidikan Indonesia yang dapat menggambarkan paradigma yang relevan dengan jiwa reformasi yang di dalamnya telah tumbuh sistem demokratisasi dan kebebasan yang beradab dan beraklak yang sedang kita kembangkan sekarang ini dalam berbagai bentuk. Maka sudah tentu dalam aspek politik pendidikan dan Kebudayaan harus mendukung jiwa reformasi tersebut, sehingga pendidikan di Indonesia dapat mewujudkan manusia Indonesia Baru yang berkepribadian kuat, berkualitas, kritis, inivatif, toleransi dalam fluralisme dan siap bersaing dengan dunia luar.

Sebagai catatan akhir, terlepas dari banyak problem yang dihadapi pendidikan nasional kita, namun semua itu tidak boleh menyurutkan semangat kita. Bagaimanapun, harus diakui bahwa pendidikan nasional merupakan “investasi” bagi masa depan bangsa Melalui pendidikan, masa depan bangsa dapat dirancang sebaik mungkin dengan cara mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan dasar ini, kita harus berusaha untuk : Pertama, “mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin, bertanggung jawab, berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia”. Kedua, perlu meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan efisien terutama dalam pengembangan iptek, seni dan budaya sehingga membangkitkan semangat yang pro-aktif, kreatif, dan selalu reaktif dalam seluruh komponen bangsa. Ketiga, mengembangkan pendidikan yang memanusiakan manusia, pendidikan yang dapat mengembangkan harkat dan martabat manusia [human dignity], dan mempersiapkan menusia menjadi khalifah [manizing human]. Keempat, dalam menyongsong berbagai kecenderungan yang aktual tidak ada alternatif lain selain perlu penataan kembali terhadap dunia pendidikan mulai dari filsafat dan tujuan pendidikan sampai ke manajemen pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran, substansi pengajaran, dan pendanaan pendidikan, sehingga kebijakan pendidikan kita tidak hanya berada pada tataran “mitos”, tetapi berada pada kebijakan “kenyataan” yang “riel” yang dapat dievaluasi dan dipertanggungjawabkan.

II. KONSEP DASAR SENTRALISASI

DAN DISENTRALISASI PENDIDIKAN

A. Konsep Dasar Sentralisasi Pendidikan

Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut UU. Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama

Dalam era reformasi deawasa ini, diberlakukan kebijakan otonomi yang seluas-luasnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan distribusi kekuasaan secara vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah pusat ke daerah, termasuk kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan tampak masih menghadapi berbagai masalah. Masalah itu diantaranya tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan masalah kurang adanya koordinasi dan sinkronisasi. Kondisi yang demikian dapat menghadirkan beberapa hal, seperti : kesulitan pemerintah pusat untuk mengendalikan pendidikan di daerah; daerah tidak dapat mengembangkan pendidikan yang sesuai dengan potensinya. Apabila hal ini dibiarkan berbagai akibat yang tidak diinginkan bisa muncul. Misalnya, kembali pada kebijakan pendidikan yang sentralistis, tetapi sangat dimungkinkan juga daerah membuat kebijakan pendidikan yang dianggapnya paling tepat meskipun sebenarnya bersebrangan dengan kebijakan pusat.

Kalau hal ini terjadi maka konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sulit dihindari. Dalam sejarah konflik kepentingan pusat dan daerah memicu terjadinya upaya–upaya pemisahan diri yang tentunya mengancam disintegrasibangsa.

Dengan perkataan lain apabila kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah tidak dilakukan upaya sinkronisasi dan koordinasi dengan baik, tidak mustahil otonomi tersebut dapat mengarah pada disintegrasi bangsa. Dalam kondisi demikian diperlukan cara bagaimana agar kebijakan pendidikan di daerah dengan pusat ada sinkronisasi dan koordinasi. Juga perlu diusahakan secara sistematis untuk membina generasi muda untuk tetap memiliki komitmen yang kuat dibawah naungan NKRI. Masalah sinkronisasi dan koordinasi kebiajakan pendidikan dan upaya membina generasi muda yang berorientasi memperkuat integrasi bangsa menjadi fokus dalam makalah

B. Konsep Dasar Desentralisasi Pendidikan

Desentralisasi di Indonesia sudah ada cukup lama, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak diterbitkannya UU no. 5 tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah. Dan terdapat pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP No. 8 tahun 1995.Menurut UU No.22, desentralisasi dikonsepsikan sebagai penyerahan wewenang yang disertai tanggung jawab pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom.

Beberapa alasan yang mendasari perlunya desentralisasi :

1. Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara lebih luas.

2. Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi.

3. Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehinmgga dapat meningkatkan efisiensi.

4. Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal.

5. Mengakomodasi kepentingan poloitik.

6. Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif.

Desentralisasi Community Based Education mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan dalam pemerintah antara lain :

a. Perubahan berkaitan dengan urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat, secara otomatis menjadi tangung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan pendidikan.

b. Perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan pendidikan.dalam hal ini pelempahan wewenang dalam pengelolaan pendidikandan pemerintah pusat kedaerah otonom, yang menempatkan kabupaten / kota sebagai sentra desentralisasi.

Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada orang-orang pada level bawah (daerah). Pada sistem pendidikan yang terbaru tidak lagi menerapkan sistem pendidikan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Kelebihan sistem ini adalah sebagian keputusan dan kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Namun kekurangan dari sistem ini adalah pada daerah khusus, euforia yang berlebihan dimana wewenang itu hanya menguntungkan pihak tertentu atau golongan serta dipergunakan untuk mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi.

Hal ini terjadi karena sulit dikontrol oleh pemerinah pusat.Desentralisasi pendidikan suatu keharusan rontoknya nilai-nilai otokrasi Orde Baru telah melahirkan suatu visi yang baru mengenai kehidupan masyrakat yang lebih sejahtera ialah pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, hak politik, dan hak asasi masyarakat (civil rights). Kita ingin membangun suatu masyarakat baru yaitu masyarakat demokrasi yang mengakui akan kebebasan individu yang bertanggungjawab. Pada masa orde baru hak-hak tersebut dirampas oleh pemerintah.

Keadaan ini telah melahirkan suatu pemerintah yang tersebut dan otoriter sehingga tidak mengakui akan hak-hak daerah. Kekayaan nasional, kekayaan daerah telah dieksploitasi untuk kepentingan segelintir elite politik. Kejadian yang terjadi berpuluh tahun telah melahirkan suatu rasa curiga dan sikap tidak percaya kepada pemerintah. Lahirlah gerakan separtisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, desentralisasi atau otonomi daerah merupakan salah satu tuntutan era reformasi. Termasuk di dalam tuntutan otonomi daerah ialah desentralisasi pendidikan nasional.Ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan yaitu pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan sosial capital, dan peningkatan daya saing bangsa.

III. KEKUATAN DAN KELEMAHAN SENTRALISTIK PENDIDIKAN

Indonesia sebagai negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara berkembang. Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, seba keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat relevansinya bai kehidupan anak dan lingkungannya.

Konsekuensinya,posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai objek agar yang memiliki peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai dengan talenta yang dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang memperhatikan seperti :

1. Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan.

2. Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran.

3. Keseragaman pola pembudayaan masyarakat.

4. Melemahnya kebudayaan daerah.

5. Kualitas manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.

Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, makaupaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memeliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk di wujudkan.

IV. KEKUATAN DAN KELEMAHAN DESENTRALISTIK PENDIDIKAN

Dari beberapapengalaman di negara lain,kegagalan disentralisasi di akibatkan oleh beberapa hal :

1. Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desintralisasi ke memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.

2. Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah.

3. Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.

4. Sumber daya manusia yang belum memadai.

5. Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.

6. Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.

7. Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehiulangan otoritasnya.

Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan disentralisasi yang tidak matang juga melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya :

1. Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah,antar sekolah antar individu warga masyarakat.

2. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu sebelumnya,sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolahuntuk melakukan pembaruan.

3. Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggarandi alokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru didistribusikan ke sekolah.

4. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif berpotendsi akan menurunkan pendidikan.

5. Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahamisepenuhnya permasalahandan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan.

6. Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.

7. Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah.

Untuk mengantisipasi munculnya permasalahan tersebut di atas, disentralisasi pendidikan dalam pelaksanaannya harus bersikap hati-hati. Ketepatan strategi yang ditempuh sangat menentukan tingkat efektifitas implementasi disentralisasi. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk tersebut ada beberapa hal yang perlu di perhatikan :

1. Adanya jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi sebagai wahana pemersatu bangsa.

2. Masa transisi benar-benar di gunakan untuk menyiapkan berbagai halyang dilakukan secara garnual dan di jadwalkan setepat mungkin.

3. Adanya kometmen dari pemerintah daerah terhadappendidikan, terutama dalam pendanaan pendidikan.

4. Adanya kesiapan sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat yang telah dipersiapkan dengan matang oleh daerah.

5. Pemahaman pemerintah daerah maupunDPRD terhadap keunikan dan keberagaman sistem pengelolaan pendidikan, dimana sistem pengelolaan pendidikan tidak sama dengan pengelolaan pendidikan daerah lainnya.

6. Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD, masyarakat) bahwa pengelolaan tenaga kependidikan di sekolah, terutama guru tidak sama dengan pengelolaan aparat birokrat lainnya.

7. Adanya keiapan psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi untuk melepas kewenangannya pada pemerintah kabupaten / kota.

Selain dampak negatif tentu saja disentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilan antara lain :

1. Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan.

2. Mampu membangun partisifasi masyarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar0benar dari oleh dan untuk masyarakat.

3. Mampu menyelenggarakan pendidikan secara menfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar siswa.

Pengelolaan pendidikan yang baik akan menghasilkan Indonesia yang baru.Desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan jika kita ingin cepat mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Melalui pendidkan yang demokratis akan melahirkan masyarakat yang kritis dan bertanggung jawab. Masyarakat yang demokratis akan mampu menciptakan masyarakat madani yaitu masyarakat yang berbudaya tinggi yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang mana sangat menghargai hak-hak asasi manusia.

Desntralisasi pendidikan perlu dijaga dari kemungkinan –kemungkinan terjadi hal-hal negatif seperti desentralisasi kebablasan, misalnya penyerahan tanggung jawab pendidikan kepada daerah for the sake of autonomy. Apabila penyerahan wewenang tersebut hanyalah sekadar memindahkan birokrasi pendidikan dan sentralisasi pendidikan di tingkat daerah, maka desnralisasi tersebut akan mempunyai nasib yang sama sebagaimana yang kita kenal pada masa orde baru.

1 komentar:

Natasha mengatakan...

Materi anda sudah lengkap, sayangnya anda tidak menyertakan informasi yang jelas tentang diri anda, sehingga orang sulit untuk mengutip data anda ke dalam esai/makalah. Anda juga tidak menyertakan dari mana anda mendapat informasi, sehingga sia-sia informasi yang anda berikan secara cuma-cuma. Ini kritik saya, semoga dapat membantu untuk ke depannya